Jumat, 25 Februari 2011

hukum merayakan valentine day's

Valentine’s Day Dalam Persfektif Islam
                                            
Mengingat akan dirayakannya hari yang bersejarah bagi budaya bangsa Barat,  maka penulis merasa terpanggil untuk menyatakan untuk tidak sepakat atas gebyar (Valentine’s Day,) baik di Minangkabau, Indonesia dan di seluruh penjuru dunia Islam tentunya. Yang mana kalau kita tilik ke belakang sepanjang sejarah terbentang tentang Valentine’s Day, akan kita ketahui apa sebenarnya yang terjadi hingga lahirlah Valentine’s Day ini. Karena, Valentine’s Day adalah salah satu permasalahan yang menarik untuk iris dan tidak terlepas dari perhatian guru sebagai pendidik, orang tua dan remaja itu sendiri, adalah bahaya Valentine’s Day. Agar dapat dipahami dan dimengerti. “Apa, bagaimana dan untuk siapa Valentine itu”?

Valentine’s Day?
Valentine berasal dari bahasa latin yang berarti “Yang Maha Perkasa”, “Yang Maha Kuat”, dan “Yang Maha Kuasa”. Kata tersebut ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Than orang Romawi. Maka disadari atau tidak, demikian artikel tersebut, “Should Biblical Cristians Observe It.” Jika kita mengatakan kepada seseorang, “be my Valentine,” itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan terhadap berhala.
Sementara manusia disuruh menyembah hanya kepada Allah saja, meninggalkan tuhan-tuhan palsu lainnya, termasuk hawa nafsunya sendiri dan bisikan-bisikan hatinya, karena semua itu akan menghalangi dia untuk memperoleh sebuah persepsi obyektif terhadap keseluruhan realitas, mempersempit pandangannya serta memecah kepribadiannya. Pernyataan-pernyataan tegas ini adalah pernyataan yang khas dan sering dikemukakan dalam al-Qur’an: “Katakanlah: Wahai orang-orang yang ingkar! Aku tidak menyembah yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah yang aku sembah. ...... Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku! ” (Q.s. 109: 1 – 6.) Karena menurut al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional—Dia adalah pencipta serta pemelihara alam semesta dan manusia.


Sejarah Valentine’s Day
            Di dalam Ensiklopedia Khatolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine; Pertama, kisah pendeta St. Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman raja Romawi Claudius II. Bertepatan pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St. Vaentine yang telah menentang beberapa perintahnya; mengajak manusia (umatnya) menganut agama Nasrani. Kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang dibandingkan dengan mereka yang telah menikah yang sejak awal menolak untuk pergi berperang. Maka ia mengeluarkan perintah ini, lantas mengadakan pernikahan di Gereja dengan cara sembunyi-sembunyi yang pada akhirnya diketahui, lalu ia dipenjarakan. Dalam penjara ia berkenalan dengan putri penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia pun mengobatinya sampai sembuh dan jutuh cinta kepadanya. Sebelum ia mati, ia mengirim selembar kartu yang bertuliskan: “Dari Yang Tulus Cintanya, Valentine.” Hal demikian itu terjadi setelah gadis itu memeluk agama Nasrani bersama 46 kerabatnya.
            Ketiga, bahwa ketika agama Nasrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi tersebut, para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam kotak, lalu setiap pemuda itu dapat giliran untuk mengambil salah satu nama dalam kotak itu. Setiap nama gadis yang keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan “Dengan Nama Tuhan Ibu, Saya Kirimkan Kepadamu Kartu Ini.
            Adapun sebab lainnya menyatakan, St. Vaentine dihukum mati antara lain; St. Valentine ditanya tentang atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar, pencurian dan tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka ia menjawab “tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa al masih.” Lebih lanjut lagi, kepala St. Vaentine dipancung oleh penguasa Roma saat itu. Inilah kisah tragis tentang seorang Bishop di Terni, suatu tempat kira-kira 60 mil dari Roma. Adapun kesalahannya, lantaran memasukkan sebuah keluarga Romawi ke dalam agama Kristen, sekitar tahun 273 M. Dalam perkembagannya, peristiwa tersebut dikaitkan dengan gebyar Vaentine’s Day.

Keterangan lain menyatan, orang-orang Romawi merayakan hari besar mereka pada tanggal 15 Februari yang bernama Lupercalia; “suatu peringatan sebagai penghormatan kepada Juno (Tuhan wanita dan perkawinan) dan Pan (Tuhan dari alam ini) seperti apa yang mereka percayai.” Adapun acaranya; laki-laki dan perempuan berkumpul, lalu memilih pasangan lewat kado yang telah dikumpulkan dan diberi tanda sebelumnya (tukar kado). Dan setelah itu hura-hura sampai pagi. Terjadilah apa yang mereka inginkan. Dari sini, terang sudah latar belakang Vaentine’s Day bukan berasal dari ajaran agama Islam. Menurut para ahli tafsir al-Qur’an; Ibn Abbas, bahwa afazh “az_Zuwra”  artinya adalah “ayyadul musyrikin  (hari raya orang-orang musyrik) menurut mereka “haram hukumnya bagi kaum Muslimin untuk hadir dan merayakan hari raya di luar Islam... “ bukankah Islam sudah memberikan alternatif hari raya yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
            Sebgaiman firman Allah; “Janganah engkau seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menyebabkan mereka lupa kepada diri mereka sendiri—mereka inilah orang-orang yang sesat” (Q.s. 59:19). Seruan ini tertuju baik kepada kehidupan individu maupun kolektif. “Mengingat” Allah menjamin keutuhan pribadi di mana seluruh detail kehidupan dan aktivitas manusia mengalami integrasi dan sintesa sebagaimana semestinya,. Sebaliknya “melupkan” Allah menyebabkan fragmentasi eksistensi, “sekularisasi” kehidupan. Tepatnya apa yang dimaksudkan Muhammad Iqbal dengan perbedaan di antara bertuhan dengan tidak bertuhan: Tanda seorang kafir adalah; ia hilang di dalam cakrawala; tanda orang mu’min adalah; cakrawala hilang di dalam dirinya.”
Kembali ke dunia Barat, bertepatan dengan tanggal 14 Februari adalah suatu hari di mana para kekasih, mereka yang sedang jatuh cinta dan menyatakan cintanya. Dengan  menggunakan simbolis yang biasanya diungkapkan melalui pemberian kado, cokelat, bunga, boneka atau sebuah kartu disertai dengan kata-kata romantis. Ini Valentine’s Day, tidak hanya diucapkan oleh pasangan muda-mudi tetapi juga oleh orang tua. Ironisnya, belakangan ini, tranformasi agama sudah mulai menurun sehingga akhlak, moral, tingkah-laku, sopan-santun dan lain sebagainya secara otomatis ikut dipengaruhinya. Yang menggurita dalam tubuh bangsa ini.
Dikalangan muda-mudi sudah tidak sungkan-sungkan lagi untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kesusilaan; berpelukan, berciuman hingga menyerahkan kegadisannya, hanya demi memperingati hari berkasih sayang (Valentine’s Day) dan dibuktikan melalui hubungan badan. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwasanya dunia anak muda adalah dunia penuh dengan dinamika corak kehidupan; muda-mudi masih cenderung mudah tergoda untuk mencicipi hal-hal yang baru dan menggiurkan. Sesuai dengan syair Bung Rhoma; “.... darah muda darahnya para remaja ... ,”  serta bentuk dari ungkapan atas kenikmatan yang tiada tara yang juga ditawarkan oleh kehidupan dunia bersifat sementara, akhirnya menjerumuskan kepada kehancuran. Mengada-adakan hal-hal yang baru tanpa alasan yang kuat, tidak dapat dipertanggungjawabkan juga tidak memiliki nash yang jelas. Nyatalah berlawanan dengan ajaran Islam. Di sini Bung Rhoma melantunkan dendangnya; “ ... kenapa sih yang enak-enak itu diharmkan ....?” Karena itu jugalah Ahli-ahli hukum Islam mempunyai alasan yang tepat ketika menandaskan empat macam kebebasan atau hak asasi manusia—kebebasan/hak untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan dan harga diri (‘irdh). Sekarang tinggal kita kembalikan kepada individu masingn-masing.
Prof. Dr. Hamka, lebih lanjutnya menerangkan dalam Tafsir Al-azharnya; di dalam surat al-Baqarah. Di antaranya ialah penjelasan Kalimat Tauhid, mutlak kekuasaan Allah yang tertera pada ayat 225, yang lebih mansyur dengan sebutan AYATUL KURSI. Pendirian Islam di ketengahkan dengan ayat ini. Pendirian yang dapat di ketengah-ke tepikan, serta dapat diertanggunggjawabkan pada seluruh ruang dan waktu, dan pegangan hidup seorang Muslim, sehingga Muslim berani menghadapi tantangan zaman di mana pun berada. Pada ayat selanjutnya; 256, Tuhan menegaskan bahwa dalam agama tidak ada paksaan. Agama yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam tidak akan dijalankan dengan paksaan, orang tidak akan dipaksa dengan pistiol supaya menerima pendirian ini, karena pendirian yang benar dan yang salah, sudah nyata perbedaannya. Asal orang sudah berani membebaskan dirinya dari pada mempertuhan thaghut, yaitu segala macam keberhalaan dan percaya kepada Allah, pasti agama ini diterimanya. Sebab Allah mengeluarkan orang dari gelap-guita, kepada yang terang-benderang, sedangkan thaghut sebaliknya, membawa orang dari tempat yang terang-benderang kepada ruang yang gelap-gulita, kelam dan picik.
Sebab, kesemuanya itu akan diperhitungkan di hari pembalasan. Sebagaimana nantinya, setelah semuanya manusia berada dalam neraka setiap kaum akan berkata mengenai kaum yang mendahuluinya. Oleh karena, “orang-orang yang tidak beriman akan berkata (pada hari pengadilan nanti). Ya Tuhan kami, tunjukkan kepada kami manusia dan Jin yang telah menyesatkan kami agar kami dapat menginjak-injak mereka dan agar mereka menjadi (penghuni neraka) yang paling bawah” (41:29). Dengan latar belakang inilah kata-kata al-Qur’an seperti “petunjuk”, “petunjuk yang benar”, “kebenaran”, “jalan yang benar “, dan “jalan yang lurus” mempunyai makna yang sempurna. Apakah manusia akan memperoleh: keberhasilan: atau “kecelakaan” tergantung kepada, apakah ia mengambil “jalan yang benar”—yang diremehkan oleh kebanyakan manusia seolah-olah “jalan yang benar” itu tidak ada pengaruhnya terhadap masa depannya.
Dari itu, seharusnya masyarakat Islam di mana pun berada, tidak ikut andil dalam memperingati hari Valentine’s Day. Terlebih-lebih Ranah Minang. Karena, kita percaya bahwa peran guru di sekolah-sekolah, orang tua di rumah dan Ninik- mamak, Alim-ulama beserta Cadiak-pandai dalam nagarinya pasti telah mewanti-wanti hal demikian itu. Apalagi teruntuk Ranah Minang, telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat kita (Minangkabau), tentang  Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2007 yaitu, pendidikan al-Qur’an yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat. Ditegaskan bahwa, pendidikan al-Qur’an akan menjadi salah satu kurikulum muatan lokal yang dapat diterapkan pada Sekolah Dasar dan sekolah menengah SMP, SMA dan SMK. Semoga, dengan berlakunya pola pendidikan al-Qur’an di Minangkabau ini bisa dan semakin memperkokoh pendirian maszarakatnza serta kembali ke Khitohnya yang Sabana-bana Basandi Kitabullah. Pada endingnya terlepas dari cengkraman budaya Barat. Agar kita semua tidak “mejadi buih” dalam kobaran api melainkan ombak yang memadamkan. Semoga!!!